Tuesday, April 21, 2009

DIANE ARBUS AND THE PURSUIT OF BEING

by: Ayomi Amindoni

"There are and have been and will be an infinite number of things on earth. Individuals all different, all wanting different things, all knowing different things, all loving different things, all looking different. Everything that has been on earth has been different from any other thing. That is what I love : the differentness, the uniqueness of all things and the importance of life... I see something that seems wonderful; I see the divineness in ordinary things"
Diane Arbus (1923-1971)

>Image and video hosting by TinyPic

Kebanyakan orang yang familiar dengan nama Diane Arbus mengenalnya sebagai “photographer of freak”. Ini karena kebanyakan subjek foto Diane Arbus adalah orang orang dengan keunikan tersendiri, seperti orang kerdil, nudis, gigantis, banci, maupun orang orang dengan keterbelakangan mental, meski tak sedikit pula karya Arbus yang subjeknya orang-orang normal kebanyakan. But stil, karya Arbus memiliki ciri khas pada keunikan pose dari para subjeknya. Foto dengan pose pandangan lurus ke kamera,ekspresi wajah yang tak dibuat, buat dan cenderung terlihat eksentrik, menjadikan Arbus salah satu fotografer paling berpengaruh di abad 20. Bahkan Arbus menjadi fotografer pertama Amerika yang karyanya dipamerkan di Vennice Biennale. Not forget to mention bahwa karya-karyanya dipamerkan di Museum of Modern Art, New York. Lalu, siapa sebenarnya Diane Arbus dan apa keunikan dari karya-karyanya sehingga menjadi kontroversi. Banyak yang menggugat, tapi banyak juga fotografer yang meniru hal yang sama, dari obyek dan style-nya, hingga ke jenis kamera dan flash yang dipakainya. But somehow, karya Arbus is something worth to look at..

Image and video hosting by TinyPic

Who is Diane Arbus anyway?
Diane Arbus lahir dari keluarga Yahudi kaya raya yang memiliki perusahaan dalam bidang fashiondan tinggal di Central Park West, NYC. Lahir dari keluarga semacam ini tidak membuat Diane Arbus merasa normal, seperti yang pernah diceritakannya, "I grew up feeling immune and exempt from circumstance. One of the things I suffered from was that I never felt adversity. I was confirmed in a sense of unreality."
Kehidupan fotografinya dimulai pada usia 18 tahun ketika ia menikah dengan fotografer Alan Arbus yang menjadi fotografer pada perusahaan fashion orangtuanya. Alan dengan kamera dan Arbus sebagai stylist/ art director membuat keduanya saling mendukung satu sama lain. Bisnis mereka sukes, but stressful. Seringkali keduanya tidak sepaham dalam concept foto yang mereka kerjakan. Allan menjelaskan, “When Diane felt O.K., I would be in the dumps, and when I would be exhilarated, she would be depressed.'' Mereka lalu berpisah dalam hal bisnis dan diikuti perceraian antara keduanya. Diane belajar fotografi kepada Lisette Model yang sangat mempengaruhi Diane dalam melihat fenomena sosial. Model mendorong Diane untuk mengexsplore ketertarikannya pada hal-hal yang tak lazim. Dan Diane Arbus mengaplikasikannya pada street photography dengan human interest. Kemudian Arbus bekerja sebagai freelance photojournalist untuk Esquire, The New York Times Magazine, Harper's Bazaar and Sunday Times magazines.

Image and video hosting by TinyPic

Technically, ketika memotret Diane Arbus menggunakan kamera Twin Lens Reflect Rolleiflex dengan format film 120 mm. Ia menggunakan direct flash, bahkan pada siang hari untuk memisahkan memisahkan subjek dengan background, cara kerja yang kemudian menjadi dasar kerja foto jurnalistik. Cenderung memotret obyek dalam posisi frontal, dan tidak terlalu pusing terhadap kata 'komposisi'. Secara teknis memang tak ada yang terlalu special pada karya Arbus. Tapi kelebihan Arbus terletak pada kemahirannya dalam meng approach subjek yang akan ia potret, mostly eccentric dengan keunikan personal yang membuat mereka as fringers dalam kehidupan social. So how Diane Arbus and her subjects revealed their existence?
REVELATION OF “IT”

Image and video hosting by TinyPic

Subjek foto-foto Diane Arbus bila hanya melihat satu dua fotonya nampak sepintas sbg tema yang 'sangat biasa', apalagi tanpa mau tahu apa-apa dibalik itu, dan bahkan terkesan hanya sebagai foto dokumentasi. Tapi di beberapa fotonya, Diane Arbus berhasil dalam menangkap apa yang tersembunyi dalam eksistensi manusia, khususnya di karya-karyanya dengan subjek orang-orang aneh, sesuatu yang disebutnya “bad pictures”, "It's important to take bad pictures. It's the bad ones that have to do with what you've never done before. They can make you recognize something you hadn't seen in a way that will make you recognize it when you see it again."
Subjek-subjek yang unik mulai dari banci, orang kerdil di sebuah sirkus maupun sekumpulan orang nudis di komunitas nudis mungkin adalah subjek yang biasa, tapi Arbus mampu mendekati subjeknya lebih dalam, literally and emotionally. Seperti fotonya yang memperlihatkan seorang lelaki yang menggunakan rol rambut dengan “dandanan rumah” atau kurcaci yang berpose di tempat tidurnya atau bahkan pasangan nudis yang berpose ekspresif di ruang tamu mereka. Somehow ini membuat karya Arbus sebagai shocking pictures dan seringkali menuai kontroversi.

Image and video hosting by TinyPic
Susan Sontag dalam bukunya On Photography menjelaskan foto-foto Arbus sebagai pengungkapan jati diri. Arbus memotret keberadaan orang-orang tersebut tanpa “topeng” mereka, pada saat yang tidak mereka sadari, seperti foto Arbus tentang seorang anak kecil yang memegang granat di tangan kirinya dengan pose yang sangat aneh. Mereka seperti mengungkapkan esensi keberadaan mereka yang terasing dan menyedihkan. Dan sebagai manusia pada umumnya yang memiliki eksistensi hal ini menimbulkan pertanyaan, jika Arbus memotret kita, apakah kita akan memiliki pose yang lebih baik? Atau sama seperti pose yang dimiliki seorang wanita dengan dandanan menor dengan ekspresi datar yang dipotret Arbus di sebuah taman? Atau bahkan seperti seorang banci yang duduk termangu di tempat tidurnya? No no, we cant guarantee we’ll perform a better pose, we’ll be as alienated and miserable as they are. And this is our essence of being. The essence of our existence. Dalam fenomenologi eksistensialisme Jean Paul Sartre, ia mengungkapkannya sebagai “Being for Others” . Mereka ada sebagai makhluk berkesadaran dalam dunia makhluk berkesadaran yang lain, dalam dunia wujud untuk wujud lainnya. Ketika kita melihat subjek foto pada karya Arbus, mereka hanyalah wujud dalam wujud itu sendiri, sebuah objek foto meskipun bagi mereka adalah wujud untuk wujud itu sendiri, makhluk berkesadaran. Kemudian kita menjadi tersadar penuh atas diri kita ketika kita sadar bahwa kita adalah sesosok objek bagi persepsi orang lain. Kesadaran akan diri kita sebagai alien, terasing dalam identitas serta hubungan kita satu sama lain dengan misteri yang kita miliki seperti dunia yang digambarkan Arbus pada karya-karyanya. It could be argued that for Arbus the most valuable thing wasn't the photograph itself, the art object; it was the event, a sense of otherness...

No comments:

Post a Comment