By: Kanya Sjahrir
Entah sejak kapan kucing itu tergeletak disana mungkin sudah selama yang kuingat. Ribuan kali aku melalui jalan itu dan ribuan kali pula kucing itu setia disana. Ia akan menatap beku pejalan kaki yang melewatinya dengan sorot setajam pisau kristal, hingga apa yang ia alami pada masa-masa akhirnya hanya menjadi misteri pribadi para pejalan kaki yang melewatinya.
Lalu akan ada saat dimana beberapa manusia kecil dengan jiwa besar akan mengiba padanya lalu mencoba mengisyaratkan tunas-tunas nurani mereka kepada sekumpulan orang lalu lalang, tapi orang-orang yang lebih besar hanya lekas-lekas bergegas dari tempat itu. Menghindari apa yang mereka lihat dan akan terjadi apabila terlalu lama dilihat. Manusia-manusia kecil itu pun akhirnya melenggang pergi meninggalkan ibanya pada sang kucing dan tumbuh menjadi bagian dari orang-orang gegas tadi. Yang terkontaminasi dengan baik akan menjadi bagian dari dalang-dalang nomor satu teror kota sementara yang tidak terlalu baik akan menjadi bagian dari kesatuan naas yang hanya dapat membuat hitamnya kota semakin pelak.
Kala lainnya terlihat sekumpulan manusia semi biru yang menempatkan sang kucing sebagai obyek yang menarik; mainan di antara penat kota. Hingga tak heranlah apabila suatu saat akan terlihat kucing itu di ujung jalan dekat lampu merah dan pada saat lainnya ia tergeletak pasrah di bawah siraman hujan di balik pencakar langit berpagar coklat itu. Uniknya, bagaimanapun mereka bermain dengan sang kucing, tak pernah kucing itu beranjak dari jalan besar tua yang dipenuhi dengan kenangan historis ini. Mungkin kucing itu terkenang disana. Di jalan besar yang membelah jantung kota.
“Mengapa dia masih disana?” tanyaku suatu petang pada sahabatku di tengah keramaian jalan raya sambil menunjuk si kucing yang sekarang berada di bawah pencakar langit lainnya. Sebuah pertanyaan retorikal yang hanya dijawab dengan gelengan tak sabar disertai helaan nafas panjang karena sedang mencoba berkonsentrasi pada lautan angkutan yang memenuhi tapak tilas kendaraan bermotornya. Kota metropolitan yang dipenuhi dengan para pencakar langit raksasa serta sepak terjang transportasi memang sarana pembangkit penat yang baik bagi para penghuninya. Penat yang pekat yang lalu melumpuhkan jutaan tunas nurani yang hampir tumbuh di balik atap-atap.
Namun kucing itu masih setia membeku di bawah teriknya matahari tropis dan jutaan orang-orang sengit kota yang melewatinya walaupun bentuk serta aromanya sudah tidak lagi dapat ditolelir. Ia masih berada di boulevard itu, ditemani oleh rentetan derap kaki-kaki yang senantiasa menimbulkan bidu-biduan khas perkotaan. Pekat. Penat. Pelak.
Pernah sekumpulan kucing mendatangi sang kucing yang juga menatap mereka dengan beku, kumpulan itu melintas tak sabar di balik kerumunan orang yang lalu lalang dan terdiam bagai batu saat mendapati sang kucing di hadapan mereka. Kumpulan itu lalu berusaha menyentuh sang kucing dan membangunkannya. Namun sang kucing sudah terlalu lama terbeku disitu, dan semakin lama tubuhnya semakin khayal di makan waktu. Pergilah kumpulan itu menyusuri boulevard dan menghilang di balik pintu petang. Dalam sendu.
Suatu kali seorang manusia setengah baya bergabung bersama orang-orang lainnya melewati jalan tapak itu, ia mengamati sang kucing lalu diambilnya beberapa lembar koran dari balik tas lusuhnya. Hari itu matahari sedang terik-teriknya berpijar dan membuat para penghuni jalan harus melalui sengatan panas, aroma tengik serta pemandangan paling tragis bagi masyarakat kucing. Tak pelak lagi manusia itu perlahan memindahkan tubuh kucing tersebut dan perlahan mengangkat semua bagian sang kucing yang tercecer ke dalam tempat sampah terdekat.
Aku tercekat melihatnya.
Ribuan kali aku melalui boulevard ini, ribuan kali kucing itu terbeku disana, dan ribuan kali aku melihatnya hanya dapat menatap pintu langit dengan pasrah. Tak pernah aku menemui seorang manusia yang dengan dipenuhi nurani membangunkan sang kucing dengan hati-hati bahkan dengan sabar membereskan tetek bengek lainnya.
Rasa penasaran yang merambat akhirnya menuntunku untuk bertanya kepada salah seorang pedagang kaki lima yang bertempat di jalan itu, “Siapakah itu, mengapa ia memindahkan si kucing?” Si pedagang menatapku heran seakan bukanlah hal yang aneh apabila akhirnya sang kucing berpulang pada rumahnya.
“Nenek bongkok itu? Dia mungkin penghuni tertua jalan ini. Mereka memanggilnya kemanusiaan. Tentu saja ia membereskan kucing itu,” lanjutnya sambil membereskan beberapa botol minuman bersoda yang sudah kosong sementara si manusia setengah baya itu sedang menyusuri ujung boulevard lainnya. Dalam deru angan serta penasaran aku pun beranjak dari tempat itu.
Mungkin sebaiknya kutemui langsung saja batinku, namun si pedagang seakan dapat membaca pikiranku dan serta merta menyatakan, “Jangan dekati Mbak, bahaya,” ucapnya kalem sementara mentari tetap menyengat dan asap knalpot semakin pekat dalam sepotong siang.
“Kenapa?” tanyaku spontan berkeberatan tak pernah kutemui pohon nurani berisi diantara kerumunan orang lalu lalang di jalan ini, tak pernah dan entah mengapa deru itu menguat. Aku pun berlari menyebrangi jalan besar itu menuju bayang si nenek yang hampir menghilang di balik tikungan.
“Dia gila, Mbak! Dia gila!!” demikian seruan si pedagang membelah keramaian namun aku telah menjejak si nenek.
No comments:
Post a Comment