Saturday, October 17, 2009

FOTOGRAFI TEMPO DOELOE DAN MEMORI KOLEKTIF KITA

Oleh Brigitta Isabella

Selintas Fotografi Era Kolonial

“Saya seringkali berharap bahwa saya memiliki mesin foto dan dapat mengambil gambar rakyat kami—sebagaimana hanya saya yang dapat melakukannya, dan bukan Eropa. Ada begitu banyak hal yang ingin saya jadikan kata-kata dan gambar-gambar, agar orang Eropa dapat memperoleh gambaran murni tentang kami orang-orang Jawa.”

Kalimat tersebut keluar dari mulut seorang puteri sejati seorang aristrokat dan pegawai Jawa, sang ikon emansipasi perempuan di negeri kita yakni Raden Ajeng Kartini pada tahun 1900. Dalam surat-suratnya yang terkumpul dalam Dari Gelap Terbitlah Terang kita dapat membayangkan bagaimana kekaguman seorang Kartini muda terhadap mesin kamera yang pada masa itu merupakan sebuah teknologi mutakhir. Dari kutipan kalimat di atas, tampak pula kesadaran Kartini akan kemampuan fotografi dalam menciptakan citra-citra, sehingga ia menganggap bahwa jika ia memotret rakyatnya, ia akan menghasilkan sebuah “gambaran murni” tentang orang Jawa, bukan citraan lain yang mungkin dihasilkan oleh orang Eropa.

Pada masa yang tak jauh berbeda, Kassian Chepas (1845-1912), menurut sumber-sumber sejarah disinyalir sebagai orang pribumi pertama yang bisa menggunakan kamera foto. Cephas mulai belajar menjadi seorang fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia bekerja di Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII dan foto-fotonya tentu saja kebanyakan merupakan gambaran kehidupan para bangsawan di balik tembok Keraton. Hasil foto Cephas hanya merekam keindahan dan keagungan raja-raja Jawa sehingga yang tampil hanyalah ilusi-ilusi eksotisme bagi pemerintah Belanda yang kala itu merupakan kolektor foto-foto Chepas, bukan kenyataan bahwa pada masa itu rakyat Indonesia sedang mengalami penjajahan.

Foto 1. Raja Jawa oleh Kassian Chepas
Foto 2. Seorang puteri Jawa di studi foto oleh Kassian Chepas

Foto-foto di era kolonial, menurut Jean Gelman Taylor merupakan sebuah “rekaman visual yang terencana dan penuh kelicikan”. Hal ini disebabkan karena pada masa itu, berfoto merupakan sebuah hal yang eksklusif dan hanya bisa dilakukan oleh para bangsawan atau orang Belanda saja untuk menunjukkan status sosialnya. Foto-foto ini tidak mengabadikan saat-saat bersejarah dalam kehidupan Hindia Belanda pada masa itu tapi merupakan kejadian-kejaian yang terkoreografi yang memiliki kesan seremonial karena pada masa itu diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengambil sebuah foto. Dari foto-foto pada era ini, kita akan melihat citra pribadi-pribadi, namun bukan saat-saat pribadi. Foto-foto ini menunjukan pandangan-pandangan modern atas apa yang dianggap baik dan kaya pada masa itu dari analisis atas pose maupun kostum yang dikenakan saat berfoto.

Foto 4. Seorang perempuan Belanda berpose di ruang tamu pada tahun 1939, fotografer tidak diketahui.

Adalah H.F Tillema, seorang apoteker, pengusaha air minum kemasan, etnolog amatir dan petualang sejati yang membuat foto-foto yang berbeda dari kebanyakan foto yang ada pada masanya. Tillema dijuluki sebagai “The Multatuli of Photography”, hal ini disebabkan karena foto-fotonya dianggap menyebarkan humanisme yang mungkin pada masa itu, agak ketinggalan jaman. Berbeda dengan rekan-rekannya yang memotret keindahan pemandangan di tanah jajahan, Tillema memilih untuk memotret sisi lain dari rakyat di negeri jajahannya. Jika teman-temannya memotret kecantikan puteri-puteri keraton Jawa, Tillema merekam bocah cacingan yang sedang buang air. Jika teman-temannya memotret penari bali yang sedang berpose anggun, maka Tillema memotret penari cilik dari Bali yang menderita kusta. Ada yang menganggap bahwa yang dilakukan Tillema adalah sebuah usaha humanisme untuk menunjukan apda pemerintah Belanda tentang keadaan sesungguhnya di negeri jajahannya. Namun ada juga yang menyangka bahwa yang dilakukan Tillema sebenarnya adalah sebuah penelitian yang terangkum dalam buku cara hidup bagi orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda berjudul Kromoblanda (1922). Bisa jadi, Tillema ingin menunjukkan keprimitifan cara hidup kaum pribumi sehingga justru membimbing opini kaum Belanda untuk lebih berhati-hati dalam berhubungan dengan kaum pribumi dengan alasan kesehatan.

Foto 5. Bocah sedang buang air oleh H.F. Tillema

Kisah heroik fotografi Indonesia muncul pada masa detik-detik sebelum proklamasi. Frans dan Alex Mendur (lebih sering disebut sebagai Mendur bersaudara) adalah fotografer yang layak dianggap sebagai pejuang proklamasi. Lewat rekaman fotografisnya menggunakan kamera Leica, mereka merekam detik-detik proklamasi sampai harus mempertaruhkan nyawanya. Ketika mereka mengabadikan perisitiwa bersejarah itu dan ingin menyebarkannya di koran-koran nasionalis, tentara Jepang mengejar mereka untuk mendapatkan negatif foto-foto tersebut agar berita proklamasi kemerdekaan tidak tersebar di seluruh Indonesia. Mendur bersaudara harus lari dan menanam negatif tersebut di bawah pohon kantor harian Asia Raya sehingga dapat mengibuli tentara Jepang. Foto tersebut baru bisa naik cetak enam bulan sesudah peristiwa proklamasi yakni tanggal 17 februari 1946, dan akhirnya sampai saat ini berkat jasa Mendur bersaudara, foto Presiden Soekarno membacakan teks proklamasi bisa kita lihat di buku-buku sejarah kita.

Foto 6. Pengibaran bendera saat Proklamasi Kemerdekaan oleh Mendur bersaudara

Memori Kolektif: Yang Ditampilkan dan yang Disembunyikan

Citraan dua dimensi yang dibekukan oleh kamera dapat membentuk suatu memori kolektif. Memori adalah hal yang penting dalam kehidupan manusia, sebab masa lalu turut membangun apa yang terjadi di masa ini dan masa depan. Memori kolektif merupakan sesuatu yang ada dalam memori bersama suatu masyarakat tertentu, ada yang hidup dan ada yang terhambat (collective occlusion). Dalam pemrosesan informasi sampai menjadi memori yang termodifikasi dengan rapi dalam pikiran-faktor individu dan lingkungan ikut berperan serta, sehingga terdapat memori yang diajarkan (learned memory) dan memori yang hidup (lived memory).

Pelajaran sejarah yang kita dapatkan di sekolah adalah sebuah memori kolektif. Walau begitu, memori kolektif kebenarannya tidaklah absolut. Perdebatan antara kebenaran memori kolektif dan memori individu adalah perdebatan yang panjang dalam wacana sejarah. Memori kolektif bisa jadi sebuah usaha politik untuk mengklaim sebuah kebenaran oleh penguasa pada masa itu. Contoh yang paling mudah adalah kisah pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat pada tanggal 30 September yang selama pemerintahan Orde Baru kita anggap sebagai kekejaman PKI. Setalah Orde Baru runtuh, muncul banyak versi lain dari peristiwa G30S.

Pada kasus fotografi era kolonial, kita harus kritis menyadari bahwa gambar-gambar yang direkam oleh fotografer pada masa itu adalah citraan-citraan. Bukan berarti lantas foto-foto tersebut tidak dapat menjadi sumber sejarah yang valid. Dari foto-foto tersebut, dengan mempelajari konteksnya kita dapat memahami pandangan-pandangan para fotografer atau subjek yang dipotret tentang kelas, modernitas atau nasionalisme. Fotografi tempo doeloe adalah bagian dari memori kolektif kita tentang sejarah bangsa. Yang perlu kita ingat, fotografi adalah sebuah proses pembingkaian suatu objek yang difokuskan dan pengeliminasian yang lainnya. Ketika kita melihat yang ditampakkan, kita tidak boleh letih mencari apa yang disembunyikan. Sejarah tidak absolut, karena kita adalah sejarah.

No comments:

Post a Comment